Sudah beberapa kali saya mendengar
maupun membaca efek anak yang disekolahkan di sekolah “unggulan”,
terutama di usia balita. Hasilnya banyak baiknya, anak-anak itu menjadi
unggul kepandaiannya, Bahasa Inggris mereka sudah cas cis cus was wus. Hebat kan!
Nah, saat ini adik ipar saya kebetulan
menjadi guru pelajaran tambahan salah satu siswa SD mantan sekolah TK
“unggulan”. Adik saya bercerita tentang proses selama ia mengajar anak
tersebut, kita sebut saja namanya Indah. Orangtua Indah minta agar
anaknya ini diberi pelajaran tambahan matematika. Indah yang terbiasa
dengan Bahasa Inggris, selama belajar matematika sering memakai Bahasa
Inggris. “Five after five….“, seperti itu dia kalau belajar.
Mengajar anak pintar ini bukan tanpa
kendala, adik saya mulai sedikit membandingkan dengan keponakannya.
Indah anak yang sangat tertutup sedangkan keponakannya sangat periang.
Indah sering diam saja ketika menghadapi suatu situasi yang membutuhkan
ia membela diri, sedangkan keponkannya sangat ekspresif.
Indah sering kehabisan pensil dan tak
jarang harus meraut pensilnya dulu sebelum belajar. Ternyata pensilnya
sering diambil teman-temannya di sekolah. Indah juga pernah bercerita
kalau pipinya sering dicubit teman-temannya. Namun dia tidak berani
melawan ataupun sekadar mengeluarkan protesnya. Adik saya menyarankan
kalau dia dicubit lagi, Indah bilang jangan karena sakit.Begitu juga
kalau pensil Indah diambil teman, bilang kalau mau pinjam boleh tapi
dikembalikan. Dengan polosnya Indah bertanya, “Boleh ya bilang begitu?“
Di rumah Indah punya seorang adik. Kalau diganggu adiknya pun Indah hanya bereaksi “Aduh… sakit!” tak ada perlawanan untuk menghentikan gangguan adiknya. Harus menunggu sampai ibunya datang dan menarik adiknya.
Ibu Indah sendiri ternyata tak mampu
mengorek isi hati Indah, jadi kalau ada sesuatu yang disampaikan Indah
pada adik saya, ibunya meminta untuk segera disampaikan dan kemudian
dilanjutkan ke sekolahnya. Ibunya Indah tentu kewalahan dengan sikap
Indah yang sangat tertutup ini. Selidik punya selidik, ini
dilatarbelakangi pola ajar TK-nya dulu.
TK “unggulan” itu ternyata bukan hanya
mampu menghasilkan anak-anak yang pintar dan lebih cepat menguasai ilmu
dibandingkan anak-anak seumuran tetapi juga sukses membentuk pribadi tanpa inisiatif.
Anak-anak dibentuk sesuai dengan pola target yang mereka harapkan, tapi
mereka sepertinya lupa kalau anak-anak juga punya jiwa yang rentan.
Pelajaran yang diberikan memang bertujuan baik, tetapi seharusnya
dilihat juga batas kemampuan anak menyerap. Pemaksaan secara halus
maupun kasar dalam proses belajar anak akan berdampak tidak baik.
Anak bisa saja patuh dan mengikuti
pelajaran yang diberikan, tetapi kita juga harus mempertimbangkan sisi
kejiwaan anak itu. Secara umum, semakin dini usia anak maka semakin
kecil pula rentang konsentrasi anak dalam belajar, dengan kata lain anak mudah bosan.
Jika rasa bosan anak itu dibunuh jadilah si anak menjadi pribadi yang
penurut dan mengikuti perintah orang dewasa tanpa bisa mengemukakan
keinginannya.
Secara iseng saya pernah mencoba
melakukan pemaksaan pada anak saya sendiri. Saya ingin melihat dampak
kalau saya memaksa anak saya belajar membaca melebihi waktu
konsentrasinya. Biasanya saya tidak memaksakan anak saya belajar membaca
dan lebih seringnya dia yang meminta belajar, waktu belajar biasanya
hanya 10-15 menit. Suatu hari saya mencoba memaksakan belajar melebihi
waktu yang jauh lebih lama dari biasanya. Anak saya pada dasarnya adalah
anak yang terbuka, mampu mengkomunikasikan perasaannya dengan bahasa
yang baik, dan mampu melawan hal-hal yang tidak disenanginya. Tetapi
ketika saya menambahkan waktu belajar, dia tidak berani protes namun
sudah terlihat tingkat kejenuhannya, dia tetap belajar walaupun dalam
kondisi tertekan.
Jika dibandingkan dengan kasus Indah,
maka kurang lebih hal seperti itulah yang terjadi pada diri Indah. Dia
tetap memaksakan dirinya belajar walaupun dia sudah melewati ambang
kemampuannya. Dia belajar dalam kondisi tekanan. Ini berlangsung setiap
hari dari pagi sampai sore selama dua tahun. Akhirnya dia menjadi
pribadi yang tertutup dan tak mampu mengekspresikan dirinya. Ketika dia
dimasukkan ke sekolah biasa seperti anak-anak umumnya, dia tak mampu
melawan hal-hal yang tidak baik. Hal ini sangat mungkin berlanjut, dia
akan sering berhadapan dengan kekerasan dan intimidasi dari orang-orang
yang bersikap lebih “kejam”.
Kini ibu Indah masih berselisih paham
dengan suaminya mengenai pendidikan adik Indah. Suaminya tetap
menginginkan Indah bersekolah di sekolah Indah yang dulu, sedangkan
ibunya Indah sudah kapok. Suaminya menginginkan agar adiknya Indah bisa
sepintar kakaknya, lancar berbahasa Inggris dan cepat menguasai banyak
pelajaran dibanding anak-anak umumnya, sedangkan ibunya khawatir anaknya
kembali menghadapi tekanan situasi belajar.
Saat ini persaingan di dunia pendidikan semakin menggila. Pola pendidikan seperti kejar-kejaran mencetak anak yang tahu segalanya,
akibatnya tak satupun ilmu yang benar-benar didalami secara serius
sejak dini. Seharusnya pendidikan bisa diperbaiki dengan pola orientasi
kebutuhan anak agar potensi anak semakin bersinar.
Akibat semakin tingginya permintaan mutu
pendidikan formal, orangtua semakin stres dan berkeinginan anaknya
menjadi super. Anak diberi tambahan belajar hampir setiap hari, apalagi
menjelang musim ujian, maka tingkat stres semakin tinggi, orangtua
berharap anaknya mendapatkan hasil yang terbaik. Sehingga banyak di
antara orangtua yang lupa kalau anak juga butuh dunianya, dunia yang
riang gembira tanpa diharuskan belajar terus-menerus, bukankah kita
waktu kecil juga senang kalau dibiarkan bermain.
Hasil pendidikan bukanlah semata indeks
prestasi yang dapat diukur dengan nilai. Pintar itu harapan orangtua
pada anaknya tetapi jangan abaikan karakter yang terbentuk pada anak.
Demi generasi penerus bangsa kita seimbangkan kemampuan anak, anak yang
cerdas, kreatif, aktif, berinisiatif, dan mampu memimpin dirinya
sendiri.
Ketika memilih sekolah anak usia balita,
ada baiknya orangtua sesekali mengikuti proses belajarnya. Banyak
sekolah-sekolah unggulan yang bertebaran, tetapi jangan lepaskan begitu
saja peranan pendidikan pada pihak sekolah. Walau bagaimanapun, orangtua tetap yang paling utama sebagai pendidik dan juga paling tahu bagaimana kondisi anaknya.
Tetap dampingi anak dalam kesehariannya, bantu dia mengungkapkan apa
yang dipikirkan dan rasakan, inilah yang akan membantu dia sebagai
manusia yang terbuka nantinya. Sehingga efek menyekolahkan anak di
sekolah unggul berhasil bukan hanya untuk pendidikan formal saja tetapi
juga pribadi siswanya.
semoga berhASIL DAN TERWUJUD YANG PENTING KONSWEKENSI TEIM WORK APAPUN PASTI BISA BERJALAN
BalasHapus